1. Arief Budiman
Lahir di Jakarta, 3 Januari 1941, dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin, adalah seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie. Pada waktu itu ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di Jakarta. Ayahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet.
Sejak masa mahasiswanya, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Belakangan Arief "mengasingkan diri" di Harvard dan mengambil gelar Ph.D. dalam ilmu sosiologi serta menulis disertasi tentang keberhasilan pemerintahan sosialis Salvador Allende di Chili.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga. Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat dan akhirnya hengkang ke Australia serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.
Pada bulan Agustus 2006, beliau menerima penghargaan Bakrie Award, acara tahunan yang disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial.
2. George Junus Aditjondro
Sepulangnya dari Australia, ia menulis beberapa buku kontroversial yang dia rangkum dari internet, koran dan sumber-sumber lainnya.
Saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998.
Pada akhir bulan Desember 2009, saat peluncuran bukunya Membongkar Gurita Cikeas, ia dituduh melakukan kekerasan terhadap Ramadhan Pohan, seorang anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Beberapa lama setelah peluncuran bukunya terakhir, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keprihatinannya atas isi buku tersebut.Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku itu.
3. Gumilar Rusliwa Somantri
Pada tahun 2011, ia memberikan gelar Doktor HC kepada raja arab, Abdullah. Keputusannya ini menuai kontroversi internal kampus.
4. Imam B. Prasodjo
Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 15 Februari 1960; Saat ini ia menjadi dosen
tetap fakultas ilmu sosial dan politik (FISIP) Universitas Indonesia. Selain
menjadi dosen, Prasodjo juga merupakan ketua dari Yayasan Nurani Dunia, yaitu
sebuah yayasan yang berkecimpung dalam bidang sosial dan pendidikan bagi
kalangan yang kurang mampu dari segi ekonomi.
Prasodjo merupakan lulusan dari Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat. Ia kerap kali muncul sebagai narasumber di berbagai acara TV, maupun seminar yang diselenggarakan oleh universitas. Ia juga pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pusat masa bakti 1999-2004.
Prasodjo saat ini telah menikah dengan seorang wanita bernama Gitayana Budiardjo.
Prasodjo merupakan lulusan dari Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat. Ia kerap kali muncul sebagai narasumber di berbagai acara TV, maupun seminar yang diselenggarakan oleh universitas. Ia juga pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pusat masa bakti 1999-2004.
Prasodjo saat ini telah menikah dengan seorang wanita bernama Gitayana Budiardjo.
Manasse menempuh pendidikannya di SMP Kristen Rara di Sumba Barat, dan kemudian melanjutkan ke SMA Kristen di Salatiga, lalu ke Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam studinya di Universitas Wisconsin, Madison, Wisconsin, Amerika Serikat, hingga memperoleh gelar master pada 1972 dan doktor dalam ilmu sosiologi pada 1978.
Manasse meninggal dunia sekitar pk. 6.00 WITA di Waikabubak, Sumba Barat. Menurut rencana ia akan ke Bali dan bergabung dengan keluarganya di sana untuk menjadi wali dalam pernikahan keponakannya. Pada 5 Januari ia terkena stroke, mengalami koma. Nyawanya tidak tertolong.
6. Mely Tan Giok Lan
7. Mochtar Naim
Ia menamatkan studi sarjananya ke tiga universitas sekaligus, Universitas Gadjah Mada, PTAIN, dan Universitas Islam Indonesia, yang kesemuanya di Yogyakarta. Kemudian studi masternya dilanjutkan di Universitas McGill, Montreal. Melengkapi jenjang pendidikannya, Mochtar mengambil gelar PhD-nya di University of Singapore.
Mochtar tercatat sebagai pendiri Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1980, dan sejak itu ia menjadi dosen sosiologi universitas yang sama. Sebelum itu ia pernah duduk sebagai Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin di Makassar, dan Direktur Center for Minangkabau Studies, Padang.
8. Prof. Dr. Ir, Sajogyo
Pria yang sempat identik dengan jenggot putih ini melahirkan 'garis kemiskinan Sajogyo'. Menurutnya, kelompok miskin adalah rumah tangga yang mengkonsumsi pangan kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun per kepala di pedesaan atau 369 kg di perkotaan. Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan 2.172 kg orang per hari. Sehingga untuk angka di bawah itu termasuk kategori miskin.
Pada 2011 Sajogyo meraih Habibie Award 2011 untuk kategori ilmu sosial. Sajogyo mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan. Hal itu tercermin saat dirinya mendirikan Sajogyo Institute yang merupakan badan pelaksana Yayasan Sajogyo Inti Utama yang didirikan pada tahun 2005 lalu. Sajogyo membangun institut ini bersama para kolega, sahabat, murid dan anak-anak muda yang terinspirasi oleh kepedulian, pemikiran dan konsistensi perjuangan yang panjang dalam memahami dinamika masyarakat petani dan penghidupan di pedesaan.
Cita-cita menuju masyarakat yang cerdas dan merdeka terlalu sempit diwadahi dalam satu kelembagaan, diterobos dari satu sisi, dan dilakukan oleh aktor-aktor yang terpisah. Cita-cita itu adalah cita-cita besar kita semua, membangun Keindonesiaan yang cerdas dan merdeka: “...Slamatkan tanahnya, slamatkan puteranya, pulaunya, lautnya semuanya. Indonesia Raya, merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya..!”
9. Selo Soemardjan
Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia.
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
10. Vedi R. Hadiz
0 komentar:
Posting Komentar