Pada mulanya iklan televisi merupakan sub-kajian studi
masyarakat dan komunikasi massa, kemudian bersentuhan dengan studi media massa
dan sosiologi media serta konstruksi sosial. Di saat iklan memasuki
era iklan televisi, pesan-pesan iklan menjadi semakin hidup, bergairah dan
memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui
medium lainnya.
Sebagaimana diketahui, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis
yang telah meng-hidupkan diskusi-diskusi tanpa hen-ti di kalangan anggota
masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini me-nunjukkan
adanya kekuatan media (khususnya televisi) dalam mengkonstruksi
realitas sosial di masyarakat, sebagaimana beberapa contoh parodi (bagian dari
interaksi verbal) yang terdengar di masyarakat. Di antaranya adalah
senda-gurau anak-anak, “aku dan kau, jelekan kau”. Parodi yang lain juga
terdengar di kalangan remaja yang sedang bersitegang, “ah teori”. Dua parodi itu
ternyata ditiru dari iklan Dancow dan Shampo Clear. Ada pula parodi yang
menggelitik telinga seperti, “bercanda kamu” (iklan Citibank), “sek, sek, sek
..., lakone opo Ki Mantep” (iklan Obat Oskadon). Bahkan ada parodi lain
yang cukup “berani”, seperti “pas susunya” (iklan Kopi Torabika).
Parodi-parodi di atas sepintas terkesan hanyalah hiburan musiman yang tumbuh
berkembang di masyarakat lalu hilang beberapa masa kemudian, namun pada
kenyataan lain, parodi-parodi itu telah menggiring masyarakat ke dalam
wacana publik tentang iklan televisi. Kenya-taan tersebut juga
menyadarkan kita tentang hadirnya sebuah realitas sosial di masyarakat,
bahwa ada realitas media (baru) yang merefleksi parodi-parodi itu
karena orang melihat iklan televisi. Bahkan realitas sosial tersebut, dapat
atau sedang di-konstruksi oleh sebuah iklan televisi.
Lebih
jauh, parodi di atas hanyalah salah satu contoh dari kekuatan media
mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media memindahkan
realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya,
kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial
yang baru di masyarakat.
Contohnya, iklan televisi susu Dancow, edisi “aku dan kau suka Dancow” (serial
cepat besar). Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari dialog seorang ibu
dengan anaknya (sebuah realitas sosial lama). Namun, begitu dialog itu terjadi
dalam media televisi maka telah terjadi perubahan citra, bahwa Dancow bukan
lagi susu sembarangan, Dancow adalah susu yang luar biasa, apalagi pada akhir
dialog, pada saat sang anak sehabis minum segelas Dancow, lalu ia
memberitahukan ke-pada ibunya, kalau tangannya telah menyentuh telinga, yang
maknanya dia begitu cepat besar hanya dengan meminum segelas Dancow,
kemu-dian ada kata-kata berbunyi, “aku dan kau suka Dancow”.
Realitas sosial yang menunjukkan anak itu cepat besar karena minum susu Dancow
adalah sebuah realitas media, realitas virtual yang khayal
(delusion), yang sengaja di-konstruksi oleh copywriter (pembuat naskah
iklan) dan pemesan iklan melalui penciptaan realitas baru, yaitu susu
Dancow cara cepat membesarkan anak, karena susu Dancow sajalah yang mengandung
nutrisi, vitamin, kalori dan zat-zat lengkap lainnya yang paling sempurna untuk
kebutuhan pertumbuhan anak-anak.
Begitu pula dengan iklan televisi minuman Sprite edisi “aku tahu yang ku mau”
(selibitis dan bintang film). Bahwa kata-kata yang terde-ngar di balik
ilustrasi gambar bintang film dan selibriti yang sedang berjalan sambil minum
Sprite, “sama aja dengan kita-kita” kemudian muncul gambar anak muda sedang
minum sprite juga, adalah realitas baru yang dikonstruksi media kepada
pemirsanya. Iklan itu meng-konstruksi minuman Sprite, bahwa dengan meminum
Sprite, seorang anak muda dapat masuk ke dalam (pa-ling tidak mendekati)
status sosial bintang film dan selibriti.
Ada
lagi contoh semacam di atas, seperti iklan rokok Gudang Garam Surya edisi
panjat tebing yang mengkonstruksi realitas baru tentang pemuda pemberani, iklan
televisi Rokok Bentoel edisi Bentoel Biru yang mengkonstruksi realitas baru
persahabatan. Iklan TV media yang mengkonstruksi manfaat, efisiensi dan
kualitas produk dan sebagainya.
Pada
kenyataannya, tidak semua realitas sosial (termasuk pula keputusan pemirsa)
dapat dikonstruksi oleh iklan televisi. Ada berbagai keputusan pemirsa, justru
diskenario oleh faktor lain yang berasal dari luar pengaruh konstruksi
iklan. Sehingga akhirnya muncul pertanyaan, realitas sosial macam apa
yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Adakah kategorisasi tertentu yang
menunjukkan adanya proses konstruksi iklan televisi atas realitas sosial Dan
yang terakhir, adakah makna dan implikasi sosial tertentu sebagai simbol
realitas sosial suatu iklan di masyarakat.
Realitas Sosial Bentukan Iklan
Jacques Ellul (1980:1) mengatakan bahwa kalau kita ingin
menggambar-kan zaman ini, maka gambaran yang terbaik untuk dijelaskan
mengenai suatu realitas masyarakat, adalah masyarakat dengan sistem teknologi
yang baik atau masyarakat teknologi.
Untuk
mencapai masyarakat teknologi, maka masyarakat harus memiliki sistim teknologi
yang baik (Goulet, 1977:7). Dengan demikian maka fungsi teknologi adalah kunci
utama perubahan di masyarakat.
Dengan demikian, menurut Ellul dan Goulet, teknologi secara fungsional telah
menguasai masya-rakat, bahkan pada fungsi yang substansial, seperti
mengatur beberapa sistem norma di masyarakat, umpa-manya sistem lalu lintas di
jalan raya, sistem komunikasi, seni pertunjukkan dan sebagainya. Dalam dunia pertelevisian,
sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang
diistilahkan dengan theater of mind. Bahwa siaran-siaran media televisi
secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran
pemirsanya. Sehingga suatu saat televisi telah dimatikan, kesan itu selalu
hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung realitas di dalam
pikiran mereka.
Jadi
apa yang digambarkan dalam iklan televisi, adalah gambaran realitas dalam dunia
yang diciptakan oleh teknologi. Suatu contoh, ketika iklan Shampo Clear
menggunakan iklan dengan gaya lelaki seperti adegan dalam Film Matrix, di mana
seorang pemuda bershampo Clear dapat menghindari tembakan peluru dengan lekukan
tubuh yang fleksibel. Sehingga seluruh adegan dalam iklan tersebut begitu
menga-gumkan pemirsa. Begitu pula ketika adegan petualangan yang menakjubkan
dalam iklan Rokok Wismilak dan iklan Rokok Jarum Super, ataupun adegan dalam
iklan rokok Bentoel Merah, bahkan seperti yang nampak dalam iklan Shampo
Sunsilk Extramail, yang menggambarkan sebuah realitas di bawah air. Iklan-iklan
itu begitu mengagumkan karena selain realistis, adegan-adegan tersebut mampu
membawa pemirsa kepada kesan dunia lain yang maha dahsyat.
Pada
iklan lain, iklan Surf umpamanya, atau iklan Rinso. Kedua iklan itu selalu
menggunakan ke-kuatan dan kemudahan sabun deterjen masing-masing. Gambaran
mengenai kemudahan dan kekuatan produk deterjen itu dalam iklan, tidak
selamanya dapat dibuktikan dalam dunia nyata. Pengetahuan itu hanyalah realitas
yang dibangun oleh iklan televisi dalam media televisi, untuk menjelaskan
betapa hebatnya sebuah produk. Sehingga pemirsa sampai pada kesimpulan mengenai
produk tersebut, bahwa kalau membeli dan menggunakan sabun deterjen akan memudahkan
pekerjaan.
Jadi
berdasarkan realitas iklan televisi yang dijelaskan itu, gambaran terhadap
sebuah dunia, hanya ada dalam teknologi media televisi. Realitas itu dibangun
oleh copywriter dan visualiser berdasarkan kemampuan teknologi media elektronika.
Jadi
seperti yang katakan oleh informan, di dalam membangun sebuah realitas,
seorang copywriter dan visualiser juga dipengaruhi oleh lingkungan
mereka, budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia
periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan bahkan oleh kliennya
sendiri.
Kemampuan teknologi media elektronika memungkinkan copywriter dan
visualiser dapat menciptakan realitas dengan menggunakan satu model
produksi yang oleh Baudrillard (Piliang, 1998:228) disebutnya dengan simulasi,
yaitu penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas awal. Hal
ini olehnya disebut (hiper-realitas). Melalui model simulasi, manusia dijebak
di dalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya
semu, maya, atau khayalan belaka.
Ruang
realitas semu itu merupakan satu ruang antitesis dari re-presentasi, atau
seperti apa yang dikatakan oleh Derrida, antitesis itu dapat disebut dengan
dekonstruksi terhadap representasi realitas itu sendiri (Nugroho, 1998:123).
Menurut Piliang (1998:228) ruang realitas semu itu dapat digambarkan melalui
analogi peta. Bila di dalam suatu ruang nyata, sebuah peta merupakan
representasi dari sebuah teritorial, maka di dalam model simulasi, petalah yang
mendahului teritorial. Realitas (teritorial) sosial, kebudayaan, atau politik,
kini dibangun berdasarkan model-model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi,
iklan, bintang-bintang layar perak, sinetron, atau tokoh-tokoh kartun,
seperti Disneyland, Las Vegas, Stadiun Wembley, bintang film seperti Madonna,
atau bintang sepak bola Maradona, tokoh kartun seperti Mickey Mouse dan
Doraemon. Inilah contoh gambaran model peta simulasi dalam berbagai citra,
nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan sosial, kebudayaan atau politik.
Seperti yang di pahami oleh Piliang dan informan tentang wacana simulasi adalah
ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, di mana manusia
mendiami suatu ruang realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi, atau
yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis. Manusia dalam dunia maya
dan khayal. Televisi dan informasi lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan
etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia.
Konstruksi Citra dalam Iklan Televisi
Tugas utama iklan televisi adalah menjual barang atau
jasa bukan menghibur. Horace Schwerin melaporkan bahwa tidak ada hubungan
antara rasa suka kepada iklan-iklan dan termakan iklan tersebut (Ogilvy,
1987:170). Kata-kata Schwerin tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter
dan visualiser iklan televisi, karena ternyata menghibur sambil menjual di
televisi menjadi lebih menarik.
Bagi
para copywriter, iklan te-levisi, kendati mengetahui tidak ada hubungan antara
iklan dengan keter-pengaruhan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan
kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap
produk-produk kapitalisme lebih mempengaruhi jalan pikiran copywriter di saat
mereka memulai pekerjaan mereka. Para copywriter lebih percaya bahwa
iklan-iklan yang besar dengan pencitraan yang kuat, akan lebih besar
kekuatannya mempenga-ruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan
melalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu. Hal
ini adalah sebagian contoh dari upaya teknologi menciptakan theater of
mind dalam alam kognisi masyarakat.
Bagi
para copywriter, pencitraan yang dikonstruksi ini amat penting dalam
mengendalikan ke-mauan mereka atau produsen. Dan ketika pencitraan itu
dimaknakan oleh pemirsa sebagaimana kemauan copywriter, maka sesungguhnya
terjadi kesadaran semu terhadap realitas semu yang digambarkan dalam iklan
sebagai hiperrealitas (pseudo-realistik) atau realitas virtual.
Umumnya copywriter dan visu-aliser berharap bahwa pencitraan dapat di tangkap
sebagaimana yang dimaksud oleh mereka.
Pada
kenyataannya tidak semua iklan televisi diciptakan untuk maksud pencitraan,
namun karya ik-lan televisi dianggap sempurna kalau sampai pada tahap
pencitraan ini, karena itu produsen maupun copywriter berupaya agar iklan
mereka sampai pada pencitraan produk.
Umumnya pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis
obyek iklan yang di-iklankan, walaupun tidak jarang pencitraan dilakukan secara
ganda, artinya iklan menggunakan beberapa pencitraan terhadap satu obyek.
Pada
beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa kategorisasi
penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai berikut:
Pertama, Citra Perempuan. Se-perti yang dijelaskan oleh Tomagola
(1998:333-334), citra perempuan ini digambarkan sebagai citra pigura, citra
pilar, citra pinggan dan citra pergaulan. Walaupun citra semacam
ini ditemukan dalam iklan-iklan media cetak. Namun citra perempuan yang dijelaskan
oleh Tomagola ini juga terdapat pada iklan televisi. Menurut Tomagola, dalam
banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu
tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti
memiliki waktu menstruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut yang
panjang (iklan Shampo Pantene), dan lainnya. Pencitraan perempuan semacam ini
di-tekankan lagi dengan menebar isu “natural anomy” bahwa umur perempuan,
ketuaan perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan
perempuan. Citra pilar dalam pencitraan perempuan, perempuan digambarkan
sebagai tu-lang punggung utama keluarga. Perempuan sederajad dengan laki-laki,
namun karena kodradnya berbeda dengan laki-laki, maka perempuan digambarkan memiliki
tanggung ja-wab yang besar terhadap rumah tangga.
Lebih luas, perempuan memiliki tanggung jawab terhadap
persoalan domestik. Ruang domestik perempuan digambarkan dengan tiga hal utama;
pertama, “keapikan” fisik dari rumah suaminya (iklan Superell); kedua,
pengelola sumberdaya rumah tangga; sebagai istri dan ibu yang baik dan
bijaksana (iklan Pepsodent dan iklan Susu Dancow). Dan ketiga, ibu sebagai guru
dan sumber legitimasi bagi anaknya (iklan Dancow Madu).
Perempuan dalam iklan televisi juga digambarkan memiliki citra Pinggan, yaitu
perempuan tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur adalah dunia
perempuan (iklan Indomie, iklan Salam Mie). Ter-akhir pencitraan perempuan
dengan memberi kesan bahwa perempuan memiliki citra pergaulan. Citra ini
ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu
yang lebih tinggi di masyarakatnya, perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang
anggun, menawan (iklan Sabun Lux, dan iklan Sabun Giv).
Pencitraan perempuan seperti di atas, tidak sekedar dilihat sebagai obyek,
namun juga dilihat sebagai subyek pergulatan perempuan dalam menempatkan diri
dalam realitas sosial, walaupun tidak jarang perempuan lupa telah masuk dalam
dunia hiperrealistik (pseudo-realistik), yaitu sebuah dunia yang hanya ada
dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media iklan televisi.
Kedua, Citra Maskulin. Iklan juga mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki,
ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan
hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian
citra maskulin.
Pencitraan maskulin digambar-kan kekuatan otot lelaki yang menjadi dambaan
wanita (iklan Ekstra Joss), atau dicitrakan makhluk yang tangkas, berani,
menantang maut (iklan Shampo Clear, iklan Rokok Wismilak dan iklan Rokok Jarum
Super). Mereka lelaki berwibawa, ma-cho, dan sensitif (iklan Rokok Marlboro,
iklan Rokok Bentoel Merah).
Citra
maskulin adalah stereotip laki-laki dalam realitas sosial nyata. Untuk
menggambarkan realitas tersebut, maka iklan mereproduksinya kedalam realitas
media, tanpa memandang bahwa yang digambarkan itu sesuatu yang real atau
sekedar mereproduksi realitas itu dalam realitas media yang penuh dengan
kepalsuan.
Ketiga, Citra Kemewahan dan Eksklusif. Kemewahan dan eksklusif adalah realitas
yang diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang
bekerja keras, berjuang hidup untuk memperoleh realitas kemewahan dan
eksklusif, karena itu iklan televisi mereproduksi realitas ini ke dalam
realitas iklan dengan maksud memberi simbol-simbol kemewahan ke dalam obyek
iklan televisi. Karena di saat pemirsa merefleksikan kemewahan kedalam
pilihan-pilihan mereka, maka secara tidak disadari, citra iklan telah
me-mindahkan simbol-simbol itu ke dalam pilihan-pilihan mereka. Realitas ini
paling tidak dapat dilihat pada iklan mobil (To-yota, BMW,
Opel Blazer) atau pemukiman Taman Dayu.
Keempat, Citra Kelas Sosial. Individu juga mendambakan hidup dalam kelas sosial
yang lebih baik, kelas yang dihormati banyak orang. Dalam realitas sosial
nyata, selain kemewahan, rasa ingin masuk ke dalam kelas sosial yang lebih
baik, merupakan realitas yang didambakan banyak orang. Individu remaja lebih
menyukai pencitraan ini. Dalam pencitraan kelas sosial dalam iklan televisi,
kehidupan kelas sosial atas menjadi acuan dan digambarkan sebagai kehidupan
yang bergengsi, modern, identik dengan kehidupan diskotik, pesta-pora
dan penuh dengan hiruk-pikuk musik (iklan Rokok PallMall), atau kelompok
masyarakat yang dekat dengan supermarket, belanja di Mall, makan di
McDonald’s (iklan McDonald’s), dan berlibur di pantai (iklan Rokok Longbeach).
Kelima, Citra kenikmatan. Kenikmatan adalah bagian terbesar dari dunia
kemewahan dan kelas sosial yang tinggi, karena itu, kenikmatan adalah simbol
sosial yang tinggi. Dalam iklan televisi, kenikmatan dapat memindahkan
sese-orang dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang ada di atasnya.
Salah satu contoh adalah iklan Rokok Longbeach. Seorang tukang potong rumput
dapat melihat dirinya sebagai seorang yang sedang berlibur di pantai dengan
bermain ski air, sebuah aktivitas yang umumnya dilakukan oleh orang yang
berduit.
Kenikmatan dalam realitas kehidupan sosial sehari-hari adalah bagian kehidupan
yang amat didambakan banyak orang, tanpa memandang kelas so-sial mereka,
sedangkan dalam iklan televisi kenikmat-an adalah realitas yang menembus
jarak sosial. Namun disaat kenikmatan itu dapat memindahkan se-seorang dari
kelas sosial tertentu ke kelas sosial diatasnya, maka hal itu adalah sebuah
hiperrealistik (pseudo-realistik) yang diciptakan untuk tujuan pecitraan
terhadap produk yang diiklankan.
Keenam, Citra manfaat. Umum-nya orang mempertimbang-kan faktor manfaat sebagai
hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian, karena itu manfaat menjadi
"nilai" dalam keputusan seseorang. Untuk memperkuat keputusan
pembelian, maka perlu mema-sukkan citra manfaat dalam sebuah iklan.
Umpamanya, iklan TV Media, iklan Antangin JRG, dan iklan Susu Andec. Citra
manfaat ini penting untuk masukan terhadap keputusan membeli atau tidak sebuah
produk. Namun citra manfaat juga dapat memberi penilaian yang lebih positif
terhadap suatu produk sehingga dapat menciptakan kebutuhan orang terhadap obyek
iklan, pada hal sebelumnya ia tidak membutuhkan obyek iklan tersebut.
Penciptaan kebutuhan ini penting dalam iklan, karena kebutuhan adalah awal
tindakan sese-orang untuk membuat keputusan pembelian, dan keputusan pembelian
dimulai dari pengetahuan seseorang tentang produk yang diketahuinya.
Tujuh, Citra persahabatan. Iklan televisi juga melakukan pencitraan terhadap
persahabatan sebagaimana yang tergambarkan pada iklan AXE Alaska, iklan Bedak
Harum Sari, dan iklan Rexona. Citra persahabatan ditampilkan pada sebuah iklan,
sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem rendah diri yang terjadi di
kalangan remaja, terutama remaja perempuan, terutama yang bersumber dari diri remaja
itu sendiri. Di sisi lain, do-rongan ingin memperbanyak persahabatan selalu
terhalang oleh persoalan “intern” remaja. Jadi, citra persahabatan dalam iklan,
menjadi amat strategis untuk solusi pemirsa, bagaikan kata pepatah; “pucuk
dicinta ulampun tiba”.
Kedelapan, Citra Seksisme dan Seksualitas. Kata ”pas susunya” (iklan Kopi
Torabika), atau kata-kata; “Puaaas Rasanya ... mau lagi? ehe, ehe” (iklan JRG
Sidomuncul), atau juga kata-kata “Ta’uuu ...” (iklan Obat Kuat Macho),
atau mungkin kata-kata; “dingin-dingin empuk” (iklan Permen Pindy Mint), dan
perempuan yang menabrak tiang listrik atau lelaki yang menabrah keran air
(iklan Pasta Gigi Close Up). Semua iklan yang disebutkan ini memberi kesan yang
jelas-jelas mempertontonkan seksisme di masyarakat. Bahkan seksisme yang
ditampilkan itu, tidak saja cenderung merendahkan gender tertentu, namun juga
cenderung pornografi.
Dalam
realitas sosial sehari-hari, seksisme dan seksualitas, me-rupakan hal yang amat
menarik di-bicarakan karena hal ini menjadi bagian kehidupan individu yang
disembunyikan atau bahkan tabu diungkapkan, namun menjadi bagian yang dominan
dalam kehidupan “panggung belakang” individu. Dalam banyak tradisi masyarakat,
persoalan seksualitas tabu untuk ditampilkan dalam “panggung depan” atau ruang
publik. Kondisi ini menjadikan seksisme dan seksualitas menarik tampil
“sedikit-sedikit” ke ruang publik. Terutama apalagi persoalan seksualitas ini
tertutup di mana saja dan menjadi bagian dari ruang pribadi yang tertutup
rapat.
Ketika iklan televisi berani muncul dengan citra seksualitas ini, menjadi daya
tarik yang luar biasa, karena selain berani menembus tradisi, citra seksualitas
dalam ruang publik dianggap sebagai hiburan yang menyegarkan. Dan selain itu di
anggap pula citra ini dapat menggugah kembali pengalaman pribadi pemirsa yang
indah di waktu yang lampau atau menyiapkan mengha-dapi pengalaman yang akan
datang.
Jad,
pencitraan iklan televisi adalah bagian terpenting dalam konstruksi iklan
televisi atas realitas sosial. Dan ketika iklan televisi melakukan pencitraan
terhadap produk tertentu maka nilai ekonomis sebuah iklan menjadi pertimbangan
utama. Artinya pencitraan itu harus bermanfaat bagi produk tertentu.
Dalam
hal pencitraan iklan televisi, pada umumnya jarang sebuah iklan tampil dengan
citra tunggal, terbanyak iklan televisi tampil dengan citra ganda. Maksudnya,
iklan televisi melakukan pencitraan ganda pada produk, seperti selain
mengkonstruksi citra kelas sosial, iklan itu juga mengkonstruksi citra
kemewahan. Contohnya iklan propertis “Taman Dayu”. Pada iklan itu ada citra
kelas sosial dan citra kemewahan. Kedua citra itu terlihat pada upaya
copywriter dan visualiser mengangkat realitas kelas sosial dan kemewahan. Di
mana cerita animasi dan pesan verbal iklan tersebut yang menampakkan kondisi
lingkungan yang asri dan indah, serasi, mewah, penuh daya tarik modern.
Sehingga menimbulkan kesan bahwa kemewahan itu hanya dapat dimiliki oleh
individu dari kelas sosial atas.
Tanpa
di sadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu
yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan visualiser
untuk memberi kesan yang kuat terhadap produk yang diiklankan. Namun tanpa
disadari, mereka telah membawa pemirsa ke dalam dunia yang semakin tidak jelas.
Menurut Yong-Sang, para copy-writer dan visualiser sering secara sengaja
menciptakan gambaran yang palsu (pseudo-reality) dalam iklan. Iklan-iklan
berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan dan taktik-taktik kombinasi lain
yang memunculkan sesuatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri atau yang
disebut dengan a vicorius experience (Suharko, 1998:325).
Bahasa sebagai Realitas Sosial Iklan
Ferdinan de Sausure menunjukkan hakikat bahasa adalah
sistem-tanda. Sistem ini terdiri dari penanda (bunyi yang kita dengar, tuturkan
atau huruf-huruf yang kita baca dan tulis) serta tertanda atau makna (Fridolin,
1993:28, Sudjiman dan Zoest, 1992: 9). Tidak ada kaitan langsung, ataupun
hukum alam yang mengatur hu-bungan antara sistem tanda ini (bahasa) dengan
realitas konkrit obyektif (acuan). Misalnya tidak ada kait-an mengapa
pria disebut “pria” atau “lelaki”, “man”, “lanang” atau “bajing-an”.
Hubungan itu bersifat sewenang-wenang atau konvensional. Makna tidak dibentuk atau
ditentukan oleh hakekat benda yang diacu, tetapi oleh perbedaan di antara
satuan penanda atau tertanda dengan sesamanya (Heryanto, 1996:99).
Sistem tanda bahasa ini digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan
televisi yang umumnya berdurasi dalam ukuran detik, memanfaatkan sistem tanda
untuk memperjelas makna citra yang dikonstruksikan. Sehingga apa yang ada dalam
berbagai makna iklan sesungguhnya adalah realitas bahasa itu sendiri.
Vestergaard dan Schroder menjelaskan, dalam bahasa komunikasi ada pesan verbal
dan pesan visual. Pesan verbal berhubungan dengan situasi saat berkomunikasi
dan situasi ini ditentukan oleh konteks sosial kedua pihak (addresser dan
addressee) yang melakukan komunikasi. Sedangkan dalam pesan visual hubungan
kedua belah pihak sepenuhnya tidak ditentukan situasi, namun bagaimana
addressee menafsirkan teks dan gambar. Dalam komunikasi verbal, interaksi
simbolik selalu menggunakan ikon, indeks dan simbol (Vestergaard dan
Schroder, 1985: 14,16,36).
Iklan
televisi menggunakan kedua pesan (verbal dan visual) ini untuk mengkonstruksi
makna dan pencitraannya. Sehingga ketika di televisi hadir iklan layanan
masyarakat dengan menggunakan kata-kata; “inga-inga”, sebenarnya tidak sekedar
kata-kata itu yang menjadi kekuatan konstruksi, walau di akhir kata-kata
itu ada kata “ting” sebagai faktor yang memperkuat ingatan pemirsa
terhadap kata-kata tersebut, namun sebenarnya kata-kata “Inga-inga” itu telah
diperkuat oleh visualisasi orang yang menyebut kata-kata “inga-inga” itu dengan
perilaku yang lucu dan menggelikan. Ketika, di waktu lain iklan tersebut muncul
di media radio, maka kekuatan bahasa visual tetap saja muncul dalam ingatan
pendengar yang pernah menonton iklan tersebut di televisi, inilah sebuah realitas
bahasa dalam iklan televisi.
Realitas bahasa dalam iklan televisi juga bisa dalam bentuk lain. Ketika iklan
Rokok Marlboro menggunakan gambar hutan sherwood dan alam pedesaan serta
kehidupan cowboy dengan penonjolan laki-laki cowboy yang macho sebagai latar
iklan, kemudian muncul suara “come to Marlboro Country” maka telah
terjadi penggunaan bahasa secara total. Ikon budaya modern telah
tergambarkan dalam penampilan iklan tersebut dengan menggunakan tanda budaya
Barat sebagai basis budaya modern. Kedekatan eksistensi budaya modern dengan
selera modern merupakan indeks budaya yang juga ikut dipertunjukan dalam iklan
tersebut. Dan semua itu (kemodernan) adalah simbol-simbol lelaki muda,
berwibawa, dan macho.
Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran “diri” pemirsa yang
secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain
telah terjadi inter-nalisasi atas realitas sosial sesungguhnya. Dalam
hubungannya dengan hal ini, Herbert Mead mengatakan self (diri) menjalani
internalisasi atau interpretasi atas realita struktur yang lebih luas. Self
benar-benar merupakan internalisasi seseorang atas apa yang telah
digeneralisir orang lain, atau kebiasaan-kebiasaan sosial komunitas yang lebih
luas. Ia merupakan produk dialektika antara ‘saya’ atau impulsif dari
“diri”, dan “aku”, atau sisi sosial manusia. Karena itu setiap diri seseorang
terdiri dari biologis dan psikologis “saya”, dan sosiologis ”aku” (Paloma,
1992:260).
Seperti dikemukakan dalam konsep Totemisme (Hoed,1994:122, 128), suatu
masyarakat dapat meng-identifikasikan diri mereka terhadap benda (totem) dan
benda itu akhirnya menjadi rujukannya. Proses identifikasi diri melalui
signifikasi, mampu membawa seseorang pada nilai kebendaan (totem) tertentu.
Contohnya, Barthes mengatakan anggur sebagai totem ke-Perancis-an. Begitu
pula merek-merek Bally, Mercedes-Benz, BMW, McDonald’s dan semacamnya,
merupakan totem kelas sosial atas. Di dalam masyarakat, suatu kelas
sosial dapat diidentifikasikan sebagai tanda kebendaan kelas sosial tertentu,
yang oleh Saussure (Sudjiman dan Zoes, 1992:3) dikatakan setiap tanda selalu
diikuti dengan maksud tertentu yang digunakan dengan sadar oleh
kelompok yang menggunakan tanda-tanda itu, dan makna
tanda-tanda itu ditangkap secara sadar oleh kelompok yang
menerima pesan makna itu. Sebaliknya tanda-tanda itu
tanpa disadari juga ditangkap oleh penerima pesan lainnya dengan
makna yang berbeda dengan kelompok yang mengirimkan pesan tadi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan penciptaan realitas dilakukan
dengan menggunakan bahasa (verbal maupun visual) atau tanda bahasa (simbol).
Ketika akan menciptakan realitas barang, maka bahasa dapat digunakan untuk penggambaran
realitas itu, namun di saat akan menciptakan citra realitas terhadap suatu
barang, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga digunakan
tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut.
Jadi
kesimpulannya, di dalam iklan, bahasa digunakan dengan dua tujuan,
pertama sebagai media komunikasi dan kedua bahasa digunakan untuk menciptakan
sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, penggunaan bahasa iklan dilihat
sebagai yang bermakna informatif sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas,
iklan adalah sebuah seni, di mana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan
dunia yang diinginkannya. Berdasarkan kenyataan yang telah dijelaskan itu, maka
iklan televisi memiliki realitas yang berlapis-lapis yaitu lapisan makna tek-nologi,
lapisan makna ekonis dan lapisan makna simbolik. Lapisan-lapisan (layer)
realitas itu memiliki hubungan dengan pemirsa iklan televisi berdasarkan pada
keluasan pengetahuan pemirsa terhadap iklan televisi tertentu.
Penutup
Kondisi iklan televisi di Indonesia saat ini merupakan
fenomena yang sangat menarik, hal ini disebabkan karena pesatnya perkembangan
me-dia dan masyarakat dalam memasuki era komunikasi. Perkembangan iklan
televisi, menepis perkiraan banyak kalangan, bahwa sektor iklan televisi di
Indonesia terpengaruh oleh kondisi ekonomi. Hal ini dapat dibuktikan dengan
begitu banyak iklan baru bermunculan di televisi, yang terjadi hampir setiap
minggu.
Perkembangan iklan televisi yang begitu cepat, ternyata tidak di-ikuti pula
dengan berkembangnya institusi pendidikan di bidang ini. Hal ini menyebabkan,
perkembangan iklan televisi justru dipacu oleh tenaga-tenaga ahli yang sama
sekali tidak memiliki latar pendidikan tentang periklanan, namun mereka
me-miliki minat yang kuat di bidang ini, sehingga secara alamiah mereka da-pat
mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Di
sisi lain, kebutuhan jasa periklanan dipacu oleh dua kebutuhan. Pertama:
masyarakat industri percaya bahwa iklan adalah cara yang paling tepat
untuk memperke-nalkan produk kepada masyarakat. Dalam hal ini, pamor televisi
sebagai media paling canggih di dalam me-nyampaikan pesan kepada masyarakat,
juga menjadi minat khusus kalangan perusahaan untuk menggunakan televisi
sebagai pilihan utama saluran iklan. Kedua: sifat-sifat tertentu
masyarakat, terutama kelas menengah di dalam melihat diri mereka sebagai bagian
dari dunia modern, menyebabkan mereka percaya, bahwa iklan adalah cara untuk
melihat kebutuhannya dan bercermin kepada dunia modern. Hal ini berdampak pada
kebutuhan yang berlebihan dari kelas menengah terhadap produk-produk sosial
semacam iklan televisi ini.
Kebutuhan tersebut, tidak saja disebabkan karena iklan televisi da-pat
menciptakan dialektika kebutuh-an masyarakat, akan tetapi karena kebutuhan itu
merupakan ciri khas masyarakat modern di perkotaan. Kebutuhan itu menjadi
salah satu karakteristik perilaku konsumerisme berlebihan atau disebut dengan
masyarakat konsumen, yang amat me-nyukai pencitraan terhadap budaya modern atau
kelas sosial atas. Ka-rakteristik masyarakat konsumen ini, secara langsung
memberi lahan yang sangat luas bagi perkembangan dunia usaha periklanan.
Sebagai gambaran realitas media atau realitas virtual tentang du-nia yang hanya
ada di dalam media televisi. Realitas itu merupakan hasil produksi dan
reproduksi dari iklan televisi dan masyarakat pemirsa, di mana iklan itu ada.
Realitas iklan televisi itu terbentuk melalui beberapa lapisan (layer), yaitu
lapisan realitas teknologi, realitas ekonis, dan realitas verbal.
Bahwa
penonton iklan televisi akan mengkode iklan televisi sebagai suatu realitas
yang dibangun oleh alat-alat elektronika. Karena tidak dapat diragukan lagi,
kecanggihan alat-alat elektronika saat ini, mampu membangun realitas maya,
super-realitas, di mana digambarkan tentang sebuah realitas kehidupan,
berdasarkan keinginan pencipta iklan televisi itu.
Penciptaan realitas dimaksud dengan menggunakan model simulasi, yaitu
penciptaan model-model kehidupan yang nyata, realistik, tanpa asal-usul yang
realistik. Mela-lui model simulasi ini, individu terjebak dalam satu ruang yang
disa-darinya sebagai nyata, walaupun sesungguhnya semu, atau maya.
Ruang
realitas semu, dapat digambarkan melalui analog peta. Bila dalam ruang nyata,
peta merupakan representasi dari sebuah te-ritorial, maka dalam model simulasi
peta mendahului teritorial, di mana realitas sosial, budaya dan realitas
kehidupan lain dalam dunia nyata, dibangun berdasarkan model simu-lasi yang ditawarkan
iklan televisi.
Selain realitas iklan televisi yang dibentuk oleh teknologi, iklan televisi
juga membentuk realitas me-lalui pencitraan terhadap produk. Pencitraan
dilakukan dengan memberi nilai tertentu kepada produk yang diiklankan, antara
lain dengan menggunakan ikon-ikon budaya modern dan kelas sosial atas, agar
dapat menggambarkan atau menyetarakan produk yang diklankan dengan ikon
kemodernan dan ikon kelas sosial tersebut.
Dalam
banyak hal di dalam iklan televisi, copywriter dan visualiser telah menggunakan
citra sebagai fokus konstruksi sosial, serta memberi makna berdasarkan
pada sistem tanda (bahasa) yang digunakan pada nilai yang dicitrakan.
Citra ini kemudian memberi makna terhadap model simulasi yang dibangun dalam iklan
televisi.
Iklan
televisi secara total pula telah mengunakan bahasa sebagai realitas sosial, di
mana sistem tanda (penanda dan tertanda) yang digunakan oleh iklan
televisi, baik verbal maupun visual dalam berbagai model simulasi, telah berhasil
membangun imajinasi pemirsa tentang realitas sosial, walaupun realitas itu
bersifat semu, hiper-realitas, dan hanya ada di dalam media atau sebagai
theater of mind pemirsa.
Realitas iklan televisi itu sesungguhnya dibentuk oleh agen sosial yang
terlibat dalam dunia periklanan, seperti biro iklan, pemilik iklan atau pemesan
iklan dan masyarakat pemirsa. Terciptanya iklan televisi dilakukan melalui
tahap-tahap konstruksi sosial, yang mana di dalam tahapan itu, realitas sosial
sosial iklan televisi dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan di
antara agen sosial.
Hubungan-hubungan kekuasaan di antara agen-agen sosial menghasilkan negosiasi
tehadap sumber nilai acuan konstruksi sosial yang digunakan,
kemudian menghasilkan pula proses negosiasi makna dan reproduksi sosial
terhadap iklan televisi. Proses-proses ini berlangsung di dalam tahap
konstruksi sosial yang berjalan secara simultan, yaitu eksternalisasi,
obyektivasi dan internalisasi.
Daftar Pustaka
Ellul, Jacques, The Technological System (New York:
Continuum, 1980).
Goulet, Denis, The Uncertain Promise (New York: IDOC, 1977).
Heryanto, Ariel., “Bahasa dan Ku-asa; Tatapan
Posmodernis-me”, dalam Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde
Baru (Bandung: Mizan, 1996).
Hoed, Benny H., “Dampak Komuni-kasi Periklanan, Sebuah
An-cangan dari Segi Semiotika”, SENI (Jurnal Pengetahuan dan Pencipta Seni),
No. IV/02-April 1994, Yogyakarta: BPISI.
Nugroho, Heru, "Konstruksi Sara, Kemajemukan dan
Demokrasi," Unisia, No. 40, XXII, IV, 1999.
Ogilvy, David, Pengakuan Orang Iklan (Jakarta: Pustaka
Tangga, 1987).
Paloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer (Jakarta:
Rajawali, 1992).
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas
Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Bandung:
Mizan, 1998).
Sudjiman, Panuti dan Zoest, Aart V., Serba-Serbi Semiotika
(Jakarta: Gramedia, 1992).
Suharko., “Budaya Konsumen dan Citra Perempuan dalam Media
Massa”, dalam Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto (eds.), Wanita dan Media;
Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru (Bandung: Rosda, 1998).
Tomagola, Tamrin Amal, "Citra Wanita dalam Iklan dalam
Majalah Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Sosiologis Media," dalam Ibrahim,
Idi Subandy dan Hanif Suranto (eds.), Wanita dan Media; Konstruksi Ideologi
Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru (Bandung: Rosda, 1998).
Vestergaard, Torben dan Schroder, Kim, The Language of
Advertising (New York: Basil Blackwell, 1989).
0 komentar:
Posting Komentar