Masalah anak jalanan, bukan sesuatu yang baru untuk dikaji.
Semakin banyaknya para pengamen, dari balita sampai remaja bahkan tua, banyak
juga kita jumpai diantara mereka yang menjadi tukang bersih-bersih kaca
mobil. Hal ini mereka lakukan untuk memperjuangkan hidup, mereka seakan melupakan
bahaya yang sangat mengancam keselamatan mereka. Semakin banyak kendaraan
menjadikan peluang kecelakaan semakin meningkat, baik antar kendaraan maupun
dengan pengguna jalan yang lain dalam hal ini yaitu anak jalanan.
Ironis sekali memang, banyaknya kendaraan yang mengancam
keselamatan mereka justru mereka anggap sebagai peluang keberuntungan karena
hasil yang mereka peroleh semakin banyak meski tak jarang mendapat perlakuan
tidak menyenangkan dari para pengendara. Semangat anak jalanan begitu besar,
mengabaikan panas matahari dan dinginnya angin malam.
Fenomena anak jalanan ini seakan sudah menjadi sahabat karib
dari apa yang disebut kemiskinan. Banyaknya generasi bangsa yang tumpah menjadi
anak jalanan sudah barang tentu inilah gambaran kemiskinan di Indonesia
yang terintrepentasi dari wajah-wajah mereka para pengamen, glandangan,
dan lain-lain.
Keberadaan mereka di jalanan seolah menjadi dilema,
mereka dianggap menggangu kelancaran lalu lintas, serta menggangu keindahan
tata kota namun sebenarnya kemiskinanlah yang menjadikan mereka melakukan hal
itu. Suatu contoh tidak jarang ditemukan anak jalanan seusia pelajar
Sekolah Dasar (SD), harus jadi pengamen, tukang bersih-bersih setelah pulang
sekolah sampai malam hari tidak peduli panas, hujan serta bahaya mengancam
mereka.
Berjalan sepanjang jalan, bernyanyi dari satu tempat ke
tempat yang lain atau “mangkir” tepat di lampu lalu lintas. Dengan alat
seadanya mereka melakukan aktivitas tersebut, aktivitas yang kini telah
dianggap biasa dan layak oleh banyak orang. Mengapa mereka seperti itu?, apa
memang layak aktivitas yang dilakukan para anak jalanan yang masih menyandang
status pelajar ini?.
Menurut Ahmad(30) dan Nisa(25) praktisi pendidikan
mengatakan, banyak pelajar usia SD yang hampir seharian ada dijalanan, memeras
keringat, mengumpulkan nilai rupiah dengan alasan untuk membantu orang tua.
Hasil dari ngamen, bersih-bersih bahkan minta-minta digunakan untuk uang saku
di hari esoknya saat mereka ganti status sebagai pelajar. Dana bantuan
oprasional sekolah (BOS) ternyata belum mampu seutuhnya mengentaskan mereka
dari kemiskinan , karena meskipun uang tanggunagan bulanan sudah dari bantuan
oprasional sekolah (BOS), untuk memperjuangkan cita-cita mereka dibangku
sekolah, untuk menorehkan tinta-tinta emas dari potensi yang mereka miliki,
uang saku serta kebutuhan harian masih menjadi salah satu penyebab utama para
pelajar ini harus beralih fungsimenjadi anak jalanan saat mereka keluar dari
ligkungan sekolah.
Demi sebuah pena, dengan semangat luar biasa menjalani realita
hidup yang demikian, apa tidak ada jalan lain?, jalan yang mampu mengembalikan
hak belajar mereka, hak istirahat mereka di rumah yang selama ini dirampas oleh
kerasnya jalanan demi mempertahankan hidup.
Dari hal-hal diatas penulis berusaha salah satu solusi untuk
masalah tersebut, dengan pengadaan bantuan untuk anak jalanan, dengan
membuat suatu kelompok untuk menjadi suka rela untuk mendata anak jalanan dan
juga mencari orang yang mau menjadi donatur baik tetap atau tidak.
Berusaha terus sosialisasi ke banyak masyarakat luas
berharap banyak diantara mereka mau ikut menjadi anggota donatur menginfaqkan
sebagian hartanya untuk anak jalanan. Semakin banyak orang menjadi pendonatur
berarti semakin banyak yang terhentas dari kerasnya jalanan. Sehingga mereka
bisa lebih banyak waktunya digunakan untuk belajar.untuk para pendonatur.
Fenomena seperti ini sebenarnya bisa dimanfaatnkan para pendonatur
sebagai sarana untuk ladang pahala. Oleh karena itu bisa dimulai dari
sekarang setelah membaca tulisan ini, mulai dari hal yang kecil.dan mulai dari
diri sendiri mulai peka terhadap lingkungan sekitar. Karena sebaik-baiknya
manusia adalah yang berguna atau bermanfaat bagi orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar